
Romo Laurence Freeman, OSB dan Romo Tan Thiang Sing, MSF
Mengikuti penjelasan dan latihan meditasi yang dipimpin oleh Romo Laurence Freeman, OSB pada hari kamis, 19 Februari 2009, di Gereja Katedral, bagi saya memberi pencerahan dan warna baru yang perlu ditekuni kemudian disebarluaskan dalam Gereja.
Kehadiran dan keingin tahuan dari umat -terlepas dari suksesnya publikasi yang dimotori oleh teman-teman Jaringan Kelompok Doa (Kodok) Kevikepan Semarang, teman-teman Kharismatik maupun KTM, Kerahiman Ilahi dan Legio Maria serta dari Komunitas Meditasi Kristiani Indonesia (Semarang)-, yang memenuhi Gereja Katedral entah itu yang tua, muda juga suster bruder serta beberapa imam, menyadarkan saya akan pencarian model-model kehidupan doa dan kerohanian Katolik.
Alur pengenalan meditasi kristiani dikemas dalam tiga acara pokok, yakni pembukaan, penjelasan mengenai meditasi krstiani dan latihan meditasi dilanjutkan tanya jawab/ kesaksian serta penutup berupa tawaran program enam minggu latihan meditasi. Romo Tan Thiang Sing, MSF menjadi penerjemah dalam acara ini, sedangkan Rm. Sebastian Ismu Haryanto, Pr yang akan mengawal latihan meditasi dengan program latihan 6 minggu bersama kelompok yang sudha terbentuk di Paroki Atmodirono dan Griya Paseban – Komunitas Suster PI, Paseban.
Romo Laurence adalah seorang Petapa dari Inggris yang tergabung dalam Ordo Benedictin. Dia melanjutkan pengenalan meditasi Kristiani yang sudah diawali serta dikembangkan oleh pendhulunya yakni Pastor John Main. Bagi kita semua, perjalanan rohani itu sesuatu yang sulit diukur. Berbeda dengan perjalanan ke suatu tempat yang mudah diukur sudah sampai dimana atau kurang berapa menit kita sampai tujuan. Meditasi Kristiani menjadi sarana atau jalan menuju pengenalan dan kesatuan yang mendalam dengan Yesus – Sang Anak Domba Paskah. Kita bisa belajar dari pengalaman rohani dan perjalanan hidup murid-murid perdana yang diperkenalkan kepada Sang Anak Domba Paskah oleh Yohanes Pembaptis (baca Yohanes 1:35 – 42). Pertanyaan Yesus kepada mudir-murid yang mengikutiNya adalah: “Apa yang kamu cari?”. Pertanyaan itu sebetulnya sesuatu yang biasa dan wajar, namun dalam proses pencarian makna hidup dan proses pemuridan, ternyata menjadi jalan masuk ke kerohanian yang mendalam. “Di manakah Engkau tinggal?” menjadi tanggapan langsung dari para murid yang juga mengundang keberanian untuk datang lebih dekat kepada Yesus. Sang Guru Anak Domba Allahpun mempersilakan murid-murid itu untuk: “Marilah dan kamu akan melihatnya”. Tinggal bersama Yesus menjadi kesempatan yang istimwa, menjadi saat yang menentukan untuk proses-proses berikutnya. Penginjil Yohanes menegaskan bahwa “Merekapun datang dan melihat di mana Ia tinggal, dan hari itu mereka tinggal bersama-sama dengan Dia”. Tinggal bersama Dia menjadi undangan bagi kita dan bisa dimaknai sebagai “sisa hidup” kita yang perlu diarahkan untuk tinggal bersama Yesus.
Sebagai pertanyaan reflekstif bagi kita masing-masing, kita bisa bertanya dan menyelidik, “bagaimana gaya beriman dan kehidupan keagamaan kita pada saat ini?” Rasa-rasanya masih banyak takhyul dalam hidup kita, yakni pelbagai macam ketakutan yang ada, juga hidup dalam tradisi magi, cari mukjijat penyembuhan maupun mukjijat lainnya. Bagi kita orang Katolik, satu-satunya tanda yang membawa keselamatan hanyalah Yesus Kristus sebagai Pribadi yang harus kita imani. Proses perjalanan rohani kita harus berkembang dari perasaan takut (termasuk takut mati) bekembang menjadi penuh kasih, karena Tuhan itu dekat, bahkan sangat dekat dna menyatu dengan kita (pada saat komuni kudus). Tuhan ada dalam hati kita dan bisa kita jumpai dalam hidup sehari-hari. Meditasi bukan sekedar relaksasi namun menjadi sarana masuk dan sungguh hadir di hadapan-Nya yang Agung dan Penuh Kasih. Ungkapan, kata atau mantra yang paling cocok kita gunakan untuk meditasi adalah: MA – RA – NA – THA (kata Aram yang digunakan oleh Yesus dalam hidup hariannya, artinya: Datanglah Tuhan).
Sebagai sebuah jalan masuk kepada keheningan dan persatuan erat dengan Tuhan, kita perlu kesempatan khusus untuk menikmati keheningan dan masuk dalam hadirat Allah tiap pagi dan sore antara 20 – 30 menit. Saat yang dengan disiplin perlu kita ciptakan dan upayakan. Mumpung ini Masa Prapaskah, bisa menjadi kesempatan gladi rohani yang bagus. Menjadi lebih disiplin diri tuk sediakan waktu pagi dan sore atau malam untuk hening di hadirat Tuhan. Di beberapa paroki mengadakan “tarawehan” model Katolik dengan Completorium (= doa ibadat penutup hari) ditambah dengan bacaan rohani dari sebuah buku untuk memberi kesempatan renungan batin, atau hening barang 10 menit untuk merasakan kasih karuni Tuhan selama satu hari. Ini beberapa terobosan yang bagus untuk diupyakan dan dicoba.
Ajakan untuk hening di hadirat Tuhan menjadi saat yang istimewa, serta memungkinkan kita untuk mengembangkan lebih baik kerohanian kita. Tantangan jaman dan pelbagai krisis ekonomi global yang dampaknya juga mulai kita rasakan, membutuhkan sentuhan kerohanian dan keseimbangan hidup. Kerja keras dan pelbagai macam pekerjaan yang kita laksanakan, perlu mendapat dukungan kerohanian yang mendalam, yang berasal dari kedalaman diri. Hening di hadirat Tuhan dengan meditasi, menjadi jalan masuk untuk lebih peka dan kuat menjalani hidup harian.
Saya mencoba menekuni selama masa prapaskah ini sebagai usaha pertobatan dan masuk di hadirat Tuhan. Semoga para sahabat, teman muda maupun keluarga-keluarga boleh mengupayakan hal yang sama atau memilih yang lebih baik atau lebih pas untuk situasi anda masing-masing. Kita saling meneguhkan.
Baca lebih lanjut atau kontak:
Pusat Meditasi Kristiani Indonesia, Rumah Sakit Atma Jaya, Jl. Pluit Raya No. 2, Jakarta 14440, atau email: lucia_gani@yahoo.com
Semarang: Griya Paseban, Jl. Dr. Ismangil 18A, Bongsari
Atau Rm. Sebastian Ismu Haryanto, Pr: Wisma Keuskupan Agung Semarang, Jl. Pandanaran 13. Semarang.
Artikel ini ditulis oleh:
FX. Sukendar Wignyosumarta, Pr
Bersama Uskup Agung Semarang, Mgr. Ign. Suharyo, Pr
Peserta Meditasi Kristiani di Katedral Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar