(Diskusi Antar Komunitas Agama dan Masyarakat, oleh CITRA KASIH SRAGEN)
Senin, 23 Januari 2006 oleh Rm. FX. Sukendar W, Pr
GEREJA KATOLIK BERDIALOG
MENJALANI PUASA DAN PANTANG,IKUT MEMBANGUN KEHIDUPAN BERSAMASURAT GEMBALA PRAPASKAH 25/26 FEBRUARI 2006
Ibu/Bapak, Saudari/saudaraku yang terkasih dalam Kristus, 1. Tidak jarang kepada saya diajukan pertanyaan ini, “Rama, sekarang ini banyak didirikan tempat-tempat ibadah baru. Upacara-upacara keagamaan juga tampak semakin meriah. Tetapi mengapa negeri kita tidak menjadi semakin damai dan sejahtera? Mengapa tampaknya yang terjadi justru yang sebaliknya?”. Tidak mudah menjawab pertanyaan yang jelas dan sederhana ini. Salah satu jawaban yang sering diberikan ialah, orang sudah merasa puas dengan melakukan aturan-aturan keagamaan secara lahiriah. Sementara tanggungjawab untuk mewujudkan iman dalam tata kehidupan bersama – baik pada tataran pemerintahan, dunia bisnis maupun masyarakat warga – tidak begitu saja disadari dan dilaksanakan. 2. Hari Rabu yang akan datang adalah Hari Rabu Abu. Pada hari itu kita memasuki masa Prapaskah, masa puasa dan pantang. Kita tahu bahwa berpuasa dan berpantang dapat sekedar merupakan pelaksanaan aturan agama yang dijalankan begitu saja; tetapi juga dapat menjadi perwujudan iman yang amat bermakna. Pertanyaan mengapa murid-murid Yesus tidak berpuasa - sementara murid-murid Yohanes dan orang-orang Farisi berpuasa (Mrk 2:18) - dapat membantu kita untuk memahami masalahnya. Puasa adalah suatu bentuk praktek hidup beragama yang pada dasarnya baik. Dengan berpuasa seorang beriman mengesampingkan hal-hal yang ia inginkan atau bahkan yang ia perlukan, misalnya makan, minum, berbelanja dst. Dengan cara itu ia ingin menunjukkan bahwa dirinya tidak dikuasai atau bahkan diperbudak oleh keinginan-keingian atau keperluan-keperluan dirinya. Sebaliknya ia menguasainya. Dengan berpuasa secara benar, seorang beriman menjadi semakin dewasa dalam iman, semakin merdeka dan semakin dekat dengan Tuhan. Buahnya adalah kegembiraan batin yang mendalam. Sementara orang Farisi menggunakan praktek puasa untuk menonjolkan diri. Dengan cara itu ia membiarkan diri dikuasi oleh keinginan-keinginannya sendiri. Buahnya adalah kesombongan dan dengki. Ibu/Bapak, Saudari/saudaraku yang terkasih dalam Kristus, 3. Kita ingin menjalani masa puasa dan pantang ini secara benar. Memang berpuasa dan berpantang menyangkut hal makan dan minum. Namun intinya adalah pertobatan, kembali kepada Tuhan dan jalan-Nya. Kita berharap masa ini dapat kita jalani sebagai masa yang penuh rahmat, yang memperdalam iman kita, yang menjadikan diri kita pribadi yang semakin merdeka dan semakin dekat dengan Tuhan, dan berbuah hasil dalam kehidupan bersama dalam masyarakat. Bagi saudari dan saudara yang mendapat kesempatan untuk bekerja dalam tata pemerintahan, masa Prapaskah adalah kesempatan untuk mengembangkan dan melaksanakan keyakinan bahwa bekerja di kantor-kantor pemerintah berarti menjalankan pelayanan publik demi kesejahteraan bersama. Itulah yang dikatakan dalam sila kelima Pancasila, “Kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia”. Ini adalah amanah yang harus dijunjung tinggi. Bagi saudari dan saudara yang berkecimpung dalam dunia bisnis, masa Prapaskah adalah kesempatan yang khusus untuk semakin menyadari dan melaksanakan prinsip fairness. Dengan demikian semua pihak yang terlibat akan mendapatkan keuntungannya masing-masing secara adil dan benar. Sementara itu kita semua adalah bagian dari masyarakat warga. Kehidupan kita bersama sebagai warga masyarakat akan semakin damai dan sejahtera kalau kita dapat bersama-sama membangun dan mengembangkan sikap saling percaya, saling menghormati di tengah-tengah berbagai perbedaan dan keragaman yang harus diakui. 4. Kecuali menjalani masa Prapaskah secara pribadi, baik juga diusahakan agar masa penuh rahmat ini dijalani bersama-sama dalam keluarga, komunitas, lingkungan, wilayah, stasi atau paroki. Dengan menghayati bersama masa Prapaskah, keluarga, komunitas, lingkungan, wilayah, stasi atau paroki diharapkan dapat berkembang menjadi minoritas yang kreatif – artinya kelompok kecil yang hidup dengan habitus baru (misalnya pola berpikir, pola bertindak, pola ber-relasi) yang dibangun atas dasar Injil (Ardas KAS al.2). Dengan demikian kita boleh berharap, - sebagaimana ditulis oleh St. Paulus, - keluarga dan komunitas kita dapat menjadi “surat Kristus … yang ditulis dengan Roh dari Allah yang hidup” (2 Kor 3:3). Atau seperti halnya batu kecil yang dilemparkan ke dalam air, menimbulkan gelombang-gelombang kecil yang semakin melebar, kita berharap keluarga dan komunitas kita juga menebarkan gelombang-gelombang kecil “keadilan dan kebenaran … kasih setia dan kasih sayang” (Hos 2:18). Ibu/Bapak, Saudari/saudaraku yang terkasih, 5. Akhirnya, saya mengajak agar sejauh mungkin suadari-saudara sekalian ikut hadir dan terlibat dalam pertemuan-pertemuan di lingkungan atau kelompok-kelompok lain dalam rangka masa Prapaskah ini. Semoga dengan demikian persaudaraan semakin diteguhkan. Saudari-saudara yang karena berbagai alasan tidak mungkin hadir dalam pertemuan-pertemuan seperti itu, diharapkan juga dapat mengisi masa penuh rahmat ini secara kreatif. Dalam semuanya itu, Arah Dasar Umat Allah Keuskupan Agung Semarang 2006-2010 – dengan Nota Pastoral yang menjelaskannya - dapat dipakai sebagai bahan untuk didalami baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Terima kasih atas segala bentuk peran serta dan keterlibatan Ibu/Bapak, Saudari/saudara dalam pelayanan di Keuskupan Agung Semarang. Berkat Tuhan melimpah untuk keluarga-keluarga dan komunitas kita. Dan semoga Tuhan meneguhkan pekerjaan, pengabdian dan seluruh niat-niat baik kita.Semarang, Februari 2006
+ I. Suharyo
Uskup Keuskupan Agung Semarang
Dasar: Konsili Vatikan II (1963-1965) dalam Lumen Gentium (Gereja sebagai Terang Bangsa-bangsa): ‘Sebab mereka yang tanpa bersalah tidak mengenal Injil Kristus serta Gereja-Nya, tetapi dengan hati tulus mencari Allah, dan berkat pengaruh rahmat berusaha melaksanakan kehendak-Nya yang mereka kenal melalui suara hati dengan perbuatan nyata, dapat memperoleh keselamatan kekal. Penyelenggaraan ilahi juga tidak menolak memberi bantuan yang diperlukan untuk keselamatan kepada mereka, yang tanpa bersalah belum sampai kepada pengetahuan yang jelas tentang Allah, namun berkat rahmat ilahi berusaha menempuh hidup yang benar, yang terdapat pada mereka, oleh Gereja dipandang sebagai persiapan Injil, dan sebagai kurnia Dia yang menerangi semua orang, supaya akhirnya memperoleh kehidupan” (LG. 16). Dokumen Konsili Vatikan II tentang Dialog dengan agama-agama lain: Nostra Aetate – Dewasa Kita: “Maka Gereja mendorong para puteranya, supaya dengan bijaksana dan penuh kasih, melalui dialog dan kerjasama dengan para penganut agama-agama lain, sambil memberikan kesaksian tentang iman serta perihidup kristiani, mengakui, memelihara dan mengembangkan harta kekayaan rohani dan moral serta nilai-nilai sosio-budaya, yang terdapat pada mereka” (NA. 2) Konferensi Uskup-Uskup Asia (FABC) 1970 Teolog R. Hardawiryana SJ: Seluruh dialog seharusnya mengikuti proses dialektika antara aksi dan refleksi, dan terus menerus bercorakkan pola ‘spiral’ menanjak. Proses itu dari saat ke saat makin menuju titik kulminasinya, harap kian memuncak dalam pemenuhan Kerajaan Allah, dalam Yesus Kristus Tuhan atas kekuatan Roh-Nya” “Kami sanggup mengadakan dialog yang terbuka, tulus dan bekelanjutan dengan saudara-saudari yang menganut agama-agama besar di Asia, supaya kami saling belajar bagaimana saling memperkaya dalam hidup rohani, dan bagaimana bekerja sama secara lebif efektif dalam tugas kami bersama dengan pengembangan manusiawi seutuhnya” FABC 1970 Sidang FABC VII tahun 2000 menyebutkan lima tantangan besar yang dihadapi oleh masyarakat Asia (Purwatma dalam Sentire Cum Ecclesia, hal 173) adalah: 1). Globalisasi; Globalisasi dipandang sebagai sesuatu yang mau tidak mau harus terjadi. Selain membawa dampak yang baik, globalisasi juga berakibat pada marginalisasi, mendatangkan kerugian bagi kaum miskin, cenderung mendesak negara-negara yang lebih miskin ke pinggir relasi ekonomi dan politik. Banyak negara Asia tidak mampu mempertahankan keberadaan mereka di dalam pasar ekonomi global. 2). Fundamentalismeagama, yang dikaitkan dengan terorisme. 3). Situasi Politik; dimana negara-negara Asia masih mencari bentuk, sehingga seringkali terjadi bahwa para pemimpin mash mengejar kepentingan sendiri, tidak ada demokrasi, bahkan segala bidang termasuk agama dijadikan alat untuk politik kekuasaan. 4). Ekologi; Di bidang ekologi, Asia seringkali menjadi korban karena banyaknya perusakan lingkungan, bahkan tak jarang negara-negara Asia menjadi tempat pembuangan sampah beracun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar