Minggu, 16 November 2008

Merintis Jalan Menuju Perubahan

HASIL PERTEMUAN NASIONAL

ORANG MUDA KATOLIK INDONESIA 2005

Cibubur, 12-16 November 2005

 I.    PENGANTAR

Pertemuan Nasional Orang Muda Katolik Indonesia 2005 ingin mengkaji secara lebih dalam tentang rusaknya keadaban publik dalam hidup bersama. Pengkajian ini didasarkan pada masalah-masalah serius yang telah dipaparkan dalam Nota Nastoral Konferensi Waligereja Indonesia 2004. Korupsi, kerusakan lingkungan hidup dan kekerasan yang ditelaah dengan analisa tiga poros memperlihatkan bagaimana interaksi antara negara, masyarakat pasar dan masyarakat warga nampak begitu tidak seimbang.

Mengingat Orang Muda Katolik Indonesia adalah bagian dari Gereja dan Bangsa, situasi dan permasalahan itu menjadi penting untuk dibaca dan diterjemahkan dengan cara pandang Orang Muda. Dengan demikian, menjadi nampak bahwa keterlibatan orang muda memang dapat menentukan dan mempengaruhi hidup bersama.

 

II.  LATAR BELAKANG KEPRIHATINAN

 1.   Situasi Sosial

Dalam cara pandang Orang Muda Katolik di Indonesia, peta situasi dan permasalahan sosial memperlihatkan dengan jelas adanya hal-hal penting yang patut diperhatikan. Korupsi, misalnya, menjadi salah satu permasalahan sosial politik yang dipandang banyak terjadi di berbagai wilayah. Hal ini tak dapat dilepaskan dari mewabahnya praktek kolusi, atau persekongkolan, terutama di antara poros Negara dan masyarakat pasar. Persekongkolan dua poros kekuatan yang mengelola keadaban publik tersebut mengakibatkan lemahnya sistem hukum dan kebijakan-kebijakan publik yang berdampak pada hidup bersama masyarakat. Kekerasan yang terjadi atas nama SARA menjadi bukti paling jelas dari bentuk-bentuk politisasi agama, adat, dan sentimen primordial.

Sementara, kerusakan lingkungan sosial sebagai akibat dari kekerasan juga ada kaitannya dengan ketidakadilan yang berlangsung dalam konteks sosial ekonomi. Upaya pencarian keuntungan ditempuh melalui berbagai praktek dan persaingan bisnis yang tidak sehat, bahkan monopoli. Apalagi ketika hukum tidak ditegakkan, orientasi maksimalisasi profit mendorong munculnya praktek bisnis yang illegal atau tidak memperhatikan nilai keadilan. Dalam situasi tersebut, penggusuran terhadap pusat-pusat ekonomi rakyat dihalalkan demi menciptakan pasar-pasar baru yang lebih efesien dan efektif. Konsekuensinya, masyarakat kehilangan daya tawar-menawarnya dan terpuruk dalam lingkaran kemiskinan.

Dampak dari kemiskinan dalam masyarakat secara sosial budaya nampak pada merebaknya kejahatan sosial, seperti judi, miras, prostitusi, narkoba dan HIV-AIDS. Hal ini menjadi pemicu paling kuat dari meledaknya kekerasan yang memerosotkan penghargaan akan nilai-nilai kemanusiaan. Padahal kemerosotan moral dan etika menunjukkan bagaimana hati nurani telah dimatikan seperti ditemukan dalam berbagai dampak negatif dari globalisasi dan kemajuan teknologi.

 2.   Situasi Gereja

Gereja sebagai komunitas orang beriman merupakan gerakan penebusan dan pembebasan yang berjuang untuk mengusahakan keadilan dan perdamaian. Dalam pandangan Orang Muda Katolik, Gereja kurang berani melibatkan diri secara nyata untuk menanggapi situasi ketidakadilan. Maka dapat dipahami bahwa dalam kehidupan sosial, warga Gereja semakin individualis, materialis, eksklusif, apatis dan hanya menjadi penonton di pinggir lapangan ”pergumulan bangsa”.

 

 3.   Situasi Orang Muda Katolik

Globalisasi dan kemajuan teknologi komunikasi memberikan berbagai kemudahan namun dampak negatifnya justru jauh lebih besar. Orang Muda Katolik menjadi individualis, konsumtif dan kehilangan daya kritis. Bahkan orang muda katolik mengalami krisis moral dan iman. Situasi ini semakin diperparah oleh lemahnya pendampingan dari keluarga dan masyarakat. Sementara, strategi pastoral Gereja dalam pendampingan kaum muda belum memberikan dukungan secara memadai.

  III.     ANALISA TIGA POROS KEKUATAN

Di poros negara, ketidakjelasan sistem pemerintahan yang tidak presidensial dan bukan parlementer menjadi awal dari rusaknya keadaban publik. Hal itu mengakibatkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan tidak konsisten dan pertarungan kepentingan antarperangkat kenegaraan semakin menguat. Ditambah lagi dengan kuatnya pengaruh modal asing yang mampu mempengaruhi berbagai kebijakan publik. Hal ini nampak dalam paradigma penyelenggaraan negara yang bukan untuk melayani tetapi untuk menguasai. Dalam situasi ini, tidak ada supremasi hukum karena hukum dapat diperjualbelikan dan memihak pada kelompok yang berkuasa.

Di poros pasar, ketidakadaban publik dapat dilihat dalam tiga bentuk, yaitu mekanisme kerja korporasi multinasional (MNC), eksploitasi terhadap konsumen, dan pemakaian sistem ekonomi kapitalis, lebih-lebih sistem ekonomi kapitalis yang tidak sempurna. Akibatnya, pertama, kesejahteraan masyarakat luas tidak lagi menjadi prioritas utama. Kedua, munculnya konsumerisme, ketiga, terjadinya praktek monopoli dan kolusi.

Di poros masyarakat warga, hilangnya akar budaya, sejarah dan nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh masyarakat, telah mengakibatkan masyarakat kehilangan bentuk interaksi sosial yang dibangun atas dasar saling-percaya. Kondisi ini memang tidak bisa dipisahkan dari situasi ketidakberdayaan dan kemiskinan yang masih dialami masyarakat warga. Di tengah situasi hilangnya rasa saling-percaya ini, masyarakat warga cenderung bersikap apatis terhadap realitas sosial yang terjadi, sejauh tidak bersinggungan dengan kepentingan mereka. Sebaliknya, masyarakat warga cenderung menjadi reaktif dan berpotensi melakukan kekerasan, jika merasa kepentingan hidup mereka dipermainkan.      

Rusaknya keadaban publik di atas diakibatkan oleh pola interaksi antara tiga poros pengelola ruang publik yang tidak seimbang. Poros Masyarakat Pasar mampu mempengaruhi Poros Negara dan bersekongkol secara sistematis dan terstruktur dalam membuat kebijakan-kebijakan publik yang lebih menguntungkan bagi kepentingan mereka. Hal ini dapat ditunjukkan dengan penggunaan cara-cara kekerasan dan politisasi lewat tokoh-tokoh agama dan masyarakat untuk melegitimasi kekuasaan. Sementara media digunakan untuk mempengaruhi dan melakukan pembodohan terhadap masyarakat warga.

 

 IV. GERAKAN BERSAMA MERINTIS KEADABAN PUBLIK

Situasi rusaknya keadaban publik seperti yang sudah dipaparkan di atas, pada akhirnya membawa Orang Muda Katolik untuk bersepakat dan memulai gerakan merintis Keadaban Publik. Kesepakatan gerakan Orang Muda Katolik mencakup tiga isu strategis sebagai berikut :

 

1.   Kerusakan Lingkungan

Dari hari ke hari, kerusakan lingkungan semakin parah. Krisis air, tanah longsor, dan ketidakteraturan iklim hanyalah sebagian dari contoh nyata proses rusaknya lingkungan. Faktor penting yang menyebabkan kerusakan ini adalah eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran untuk kebutuhan industri dan tidak jelasnya orientasi kebijakan pemerintah tentang pengelolaan sumber daya alam. Perusakan lingkungan yang terjadi saat ini merupakan upaya penghilangan jaminan atas kehidupan di masa yang akan datang. Oleh karenanya, sebagai generasi penentu masa depan, tidak ada pilihan lain bagi Orang Muda selain mengambil sikap dan bergerak secara nyata untuk menjamin kelangsungan kehidupan mulai dari sekarang.

 

 2. Korupsi

Masalah korupsi yang terjadi di Indonesia sudah sedemikian peliknya. Korupsi tidak lagi dipahami sekedar sebatas praktek penyalahgunaan wewenang demi memperkaya diri sendiri. Korupsi sudah dijalankan dengan pola yang sistematis dan terstruktur yang melibatkan banyak pihak dengan banyak kepentingan, mulai dari pejabat pemerintah, militer, pengusaha dan masyarakat sendiri. Situasi ini semakin diperparah oleh lemahnya supremasi hukum dan kurangnya pengawasan masyarakat. Pada situasi inilah Orang Muda ditantang untuk dapat meretas belenggu korupsi.  

 

 3. Lemahnya Pendidikan Nilai

Bukan tanpa alasan jika seiring dengan perkembangan jaman, orang muda dikhawatirkan akan menjadi semakin individualis, apatis, konsumeris dan bahkan juga hedonis. Faktor penting yang mengakibatkan situasi ini adalah lemahnya pendidikan nilai kehidupan yang diberikan kepada orang muda. Sementara, pesatnya perkembangan teknologi informasi yang dihadirkan lewat korporasi media massa modern, telah menjejalkan nilai-nilai baru yang semakin memisahkan Orang Muda dari kenyataan sosialnya. Nilai-nilai baru ini juga berhasil menggeser nilai-nilai luhur tradisi dan kearifan lokal yang sebelumnya diyakini sebagai pegangan hidup. Oleh karena itu, agenda memperkuat pendidikan nilai kehidupan bagi orang muda adalah pilihan strategis, demi membuka jalan bagi perubahan menuju keadaban publik.

 

V.   PENUTUP.

Demikianlah hasil Pertemuan Nasional Orang Muda Katolik Indonesia 2005. Kami mengajak segenap pemimpin Gereja dan seluruh umat Katolik Indonesia bersama-sama menggencarkan gerakan ini secara terus-menerus.

 

 

Cibubur, 16 November 2005

Peserta Pernas Orang Muda Katolik Indonesia 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar