Senin, 27 Oktober 2008

Berani ‘Galak’ pada diri sendiri, sebagai wujud lawan korupsi

Selama empat puluh hari kita diajak untuk berpantang dan puasa, karena perjalanan waktu dan dinamika hidup kita sudah sampai pada masa Prapaskah. Be­gitu cepatnya jarum waktu berputar. Pada bulan Maret dan April ini kita masuk pada masa Prapaska, kesempatan bagi kita untuk menata kehidupan dalam semangat pertobatan yang sungguh-sungguh.

 

Selama empat puluh hari, seluruh budi dan hati kita diarahkan untuk melihat dasar-dasar kehidupan kita, gerak langkah dan situasi sosial kemasyarakatan. Selama merenung dan memperdalam renungan APP di kelompok atau lingkungan, bahkan mungkin juga di dalam paguyuban yang kita libati, kita diajak untuk masuk dalam situasi keterpurukan bangsa dan mentalitas hidup kita. Ketika kita berteriak lantang untuk melawan praktek-praktek korupsi yang ada, bahkan kalaupun disertai data-data akurat, sanggupkah kita lantang ber­suara untuk mengkritik keadaan diri kita sendiri dan situasi lingkungan Gereja Katolik ? Moga kita sanggup menghilang­kan rasa ewuh pakewuh yang sering­kali menjadi sikap dasar kita, bahkan ketika kita juga berhadapan dengan sesama warga Katolik, pengurus dan juga tokoh yang lebih senior.

Selama empat puluh hari kita mempu­nyai kesempatan untuk berpantang dan berpuasa (sebagai hitungan resmi). Namun senyatanya (dari segi aturan hukum), kita hanya berpuasa dua kali: hari Rabu Abu dan Jumat agung. Sedang kita berpantang selama tujuh hari Jumat. Semoga ada kerinduan dalam diri kita, dan kalaupun belum ada kerinduan, saya mengajak saudari-saudara untuk memaknai masa pantang dan puasa serta mengolah per­tobatan ini selama empat puluh hari penuh. Puasa “ngebleng”, istilah Jawa yang kita gunakan. Cara bertindak selama empat puluh hari penuh bisa ditandai dengan peningkatan kualitas rohani dan frekuensi peribadatan kita. Mari, kita tidak usah malu belajar dari ketekunan saudari-saudara Muslim yang menggunakan masa puasa mereka dengan ‘kemeriahan’ lahiriah yang nyata, juga usaha untuk meningkatkan kegiatan rohani yang sung­guh-sungguh dengan peningkatan waktu dan olah rohani yang baik dan bervariasi. Olah batin yang mampu menggerakkan keterlibatan hati dan empati.

Selama empat puluh hari, beberapa kemungkinan yang bisa kita buat untuk meningkatkan kualitas dan isian kegiatan kerohanian kita untuk memaknai pantang dan puasa kita, juga untuk melawan aneka bentuk korupsi, misalnya:

 

1.      Datang ke ekaristi harian di Gereja pada pukul 05.15 sebagai bentuk dan usaha untuk mengurangi kenikmatan ragawi tidur, dan sebagai usaha untuk men­dengarkan firman Tuhan setiap hari dan menyambut santapan rohani Sakramen Mahakudus setiap hari. Sehingga misa harian, bisa seperti misa mingguan yang datang. Dua gereja joglo kembar penuh terisi dengan umat.

 2.      Putra Altar punya gerakan setiap hari: ada yang dijadwal untuk melayani imam-umat dalam perayaan Ekaristi harian.

 3.      Di kelompok maupun lingkungan dan paguyuban ada kegiatan doa setiap hari (cukup 30 menit atau paling lama satu jam). Bahan doa bisa sangat variatif, diambil dari buku-buku doa yang ada (Kidung Adi, Madah Bakti atau Puji Syukur), bisa diisi dengan pendalaman Kitab Suci setiap hari terutama dengan membaca Kisah Sengsara dari versi keempat penginjil. Anda bisa ikut berdoa di gereja setiap pukul 21.00 – 21.30 WIB.

 4.      Gerakan keluar hingga puasa kita juga dikenali oleh orang lain. Bahwa kita juga punya tradisi rohani untuk berpantang dan puasa. Misalnya ketika di kantor, sungguh menghayati makna puasa dan pantang. Kita bisa berpuasa dan pan­tang dalam waktu dari jam 6 pagi hingga 6 petang, namun juga bisa dari jam enam pagi hingga menjelang tidur malam. Panjang waktu harian untuk pantang dan puasa sangat leluasa untuk ditentukan sendiri. Yang penting seluruh budi dan kehendak kita kuasai dan bisa kita sadari hingga terarah pada pertobatan sejati.

5.      Kita mulai juga dengan gerakan bersama di dalam keluarga; misalnya selama empat puluh hari, dari jam 18.00 sampai jam 21.00 puasa dan pantang menghidupkan televisi dan radio atau tape. Selama jam itu, digunakan untuk menikmati alam serta bersahabat dengan alam sekitar, saling menemani dalam belajar, dan mencoba hadir untuk anggota keluarga.  Dengan duduk bersama di ruang keluarga.

 6.      Selama empat puluh hari juga, keluarga menentukan jenis pantang bersama yang ditentukan, misalnya masakan yang dibuat tanpa garam atau tanpa gula, termasuk juga minum tanpa gula. Gerakan intern keluarga ini membu­tuhkan komitmen awal yang jelas dan harus ada kesepakatan bersama. Masing-masing anggota keluarga bisa saling mendukung dan mengingatkan sebagai komitmen bersama.

 

7.      Kalau dalam masyarakat Muslim kita mengenal istilah jaburan dan pen­dalaman Kitab Suci setiap malam, kita bisa mendaraskan doa paling seder­hana dengan rosario atau dengan novena tertentu. Kita juga bisa berdoa Koronka Kerahiman Illahi. Rejeki yang kita miliki, tidak kita nikmati sendiri, namun kita berikan bagi yang membutuhkan.

 8.      Masing-masing keluarga, juga kelompok dan lingkungan dengan sadar, membuat gerakan pertemuan umat tanpa ‘sugu­han’, selama empat puluh hari. Kalau ada rejeki lebih, atau ongkos yang dipakai untuk membeli ‘suguhan’; kita kumpulkan dan dijadikan dana sosial bagi warga.

 9.      Selama empat puluh hari ini, cukuplah kalau keluarga yang caos dhahar kepada Rama memberi satu macam lauk, dan hanya siang hari. Biarkan kami pada malam hari menghayati hidup dengan perasaan perut lapar (kalau itu yang juga masih dialami oleh warga masyarakat kita). Kalaupun sudah tidak ada yang kelaparan dengan bisa makan tiga kali sehari, perkenankan kami menghayati cara hidup para Bhiku yang tidak makan setelah pukul 12.00 demi penyucian diri.

 10.  Hasil dari semua penghematan kenik­matan makan minum juga hiburan itu, dimasukkan dalam kotak APP sebagai persembahan keluarga.

 

Selama empat puluh hari, harus kita isi dengan lebih berkualitas dan berbobot, sebagai hari-hari penuh rahmat untuk me­ngolah hidup kita. Sudah saatnya bagi kita, berani keras terhadap diri sendiri, sebagai bentuk pertobatan dan pem­bangunan habitus baru, untuk melawan korupsi dari dalam diri sendiri dulu. Gerakan ini kalau baik dan datangnya sungguh dari Roh Tuhan, tentu akan berdampak banyak dan meluas. Akhirnya, Nama Tuhan dipuji dan diagungkan melalui perbuatan baik dan kesungguhan hati yang kita buat. Bukan kita mema­merkan cara-cara tobat kita, namun kita persungguh kadar keiman­an dan kesung­guhan hati kita mela­lui aneka ungkapan lahiriah yang keluar dari kedalaman hati kita. Saya yakin, hal yang baik dan keluar dari kedalaman hati kita, akan menyum­bangkan perwatakan dan cara bertindak yang bermutu bagi kehidu­pan masyarakat dan bangsa kita. Semua­nya kita mulai dari dalam diri dan kelua­ga kita dengan kesung­­guhan hati, dan kita berharap, dam­paknya maha dah­syat untuk memberi warna kesung­guhan hati dalam cara bertindak bagi bangsa dan masya­rakat kita. Yuuuuuuk, sekarang juga kita mulai, tidak usah malu atau masih menunggu waktu lagi.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar