Selama tiga tahun masa bhakti DP, kita telah mencoba membuat fokus pastoral secara berkesinambungan. Tahun 2004 kita maknai dengan memberi perhatian untuk mengolah bidang PEWARTAAN, supaya masing-masing dari kita sadar akan tugas perutusan sebagai murid-murid Tuhan yang harus mewartakan iman kepercayaan. Kita telah memberi perhatian khusus bagi para Katekis dan Guru agama, serta memantabkan proses katekumen dengan tahapan baptisan. Kita masih terus memperkokoh usaha untuk serius mendampingi para katekumen dan memberi bekal bagi para katekis dan guru agama. Sedangkan tahun 2005, usaha untuk memberi perhatian pada bidang Pewartaan dan tugas untuk mewartakan iman, kita tumpukan kepada KELUARGA, agar di setiap keluarga, disadari lagi panggilan untuk mengemban tugas memperdalam dan mewartakan iman Katolik. Keluarga merupakan Gereja terkecil yang memungkinkan masing-masing anggotanya bertumbuh dalam iman dan keterlibatan dalam hidup menggereja.
Bangkit dan bergerak dengan habitus baru
Sekarang ini, pada tahun 2006, bersama dengan Gereja Indonesia yang memantabkan diri dalam usaha bangkit dan bergerak dengan habitus baru untuk menata kembali kehidupan berbangsa dan bermasyarakat yang berdasarkan Pancasila, ingin kita kembangkan KETERLIBATAN GEREJA DI MASYARAKAT. Kita ingin hadir dan relevan bagi masyarakat di Bumi Sukowati. Ardas KAS yang baru tentu menjadi kerangka dasar menggereja kita, sebagai bagian dari Umat Allah di Keuskuan Agung Semarang.
Usaha-usaha nyata yang perlu kita buat demi kehadiran Gereja yang relevan untuk masyarakat, perlu kita pikirkan sungguh-sungguh. Wilayah dan lingkungan ditata kembali sesuai dengan PPDP yang sudah dalam proses menuju final. Kekhasan berpastoral berdasarkan data dari masing-masing wilayah dan lingkungan telah kita pelajari bersama ketika DP mengundang Ketua bersama dengan Sekretaris dan bendahara lingkungan untuk mencermati data-data yang ada (berdasarkan pendataan Januari 2005).
Pemanfaatan lahan-lahan yang masih kosong milik PGPM dan pekarangan gereja di lingkungan yang bisa ditanami tanaman produktif, memungkinkan kita untuk melestarikan keutuhan ciptaan. Kita juga ingin menata kembali prosentase penggunaan uang kolekte pembangunan dan sumbangan-sumbangan dengan maksud tertentu untuk mendukung keberpihakan Gereja bagi mereka yang kecil, lemah, miskin, tersingkir dan cacat. Bahkan lingkungan serta wilayah bisa mengembangkan keterlibatan dalam keanggotaan Credit Union serta Pralenan.
Gereja perlu berdialog dengan budaya kehidupan
Selain hal-hal yang sifatnya pemberdayaan dan usaha nyata, secara sosio kultural kita perlu masuk dalam budaya masyarakat Jawa di Sragen. Gereja perlu berdialog dengan budaya kehidupan yang masih kental terjadi di masyarakat. Pangeran-pangeran Jawa yang masih setia diikuti ketika orang punya gawe mantu, hitungan pasaran dan neptu, gaya hidup ketika orang punya gawe besar dengan ‘nanggap’ tontonan atau hiburan, juga pemikiran umum bahwa yang diutamakan adalah saat ‘Panggih” manten, hingga sudah dinikahkan secara resmi di Gerejapun, -yang dikatakan dalam acara di rumah sebagai sembahyang midodareni- ketika keluarga mengadakan syukuran di rumah setelah pernikahan. Mengapa demikian ? karena resepsi dan panggih baru dilaksanakan pada hari berikutnya.
Supaya kehadiran Gereja makin relevan di masyarakat maupun di kampung-kampung, perlu dibuat terobosan-terobosan baru untuk keterlibatan Gereja, juga keberpihakan yang nyata dengan masyarakat umum.
Seluruh umat bisa mencermati program lingkungan, wilayah serta Dewan Paroki, apakah sungguh menunjukkan keberpihakan Gereja kepada keterlibatan di dalam masyarakat. Dasar yang kita gunakan sesuai dengan nafas Ardas KAS yang baru adalah, kita bekerja dengan siapapun yang berkehendak baik untuk menata kehidupan bangsa dan masyarakat kita berdasarkan cita-cita Kebaikan Bersama (Bonum Commune) sambil mempertanggungjawabkan iman kepercayaan kita secara cerdas.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar