Kata sekolah berasal dari bahasa Latin schola, dan bahasa Yunani Skhole artinya tempat bersenang-senang. Maka kalau sekolah sekedar menjadi tempat untuk transfer ilmu, bahkan di sekolah terjadi perkelahian serta kekerasan hingga mengakibatkan kematian, berarti sangat jauh dari cita-cita dasar. Belum lagi kalau kita melihat anak-anak pergi ke sekolah sejak pagi hingga petang dengan membawa buku dan tas yang sedemikian berat. Perlu ada usaha nyata untuk mengembangkan kehidupan persekolahan kita sebagai tempat teduh nyaman untuk belajar hidup, sebagai tempat bersenang-senang dalam mengembangkan pengetahuan
Keaslian makna sekolah semoga tidak tercuri dari keluarga kita masing-masing. Bapak ibu sebagai orangtua terpanggil untuk mengembangkan keluarga kita menjadi sekolah doa. Almarhum Sri Paus Yohanes Paulus II dalam surat Apostolik Novo Millenio Ineunte (33) menegaskan perlunya jemaat-jemaat Kristiani menjadi sekolah-sekolah doa sejati, tempat perjumpaan dengan Kristus diungkapkan tidak melulu dalam memohon bantuan, tetapi juga dalam memanjatkan syukur, pujian, sembah sujud, kontemplasi, sikap mendengarkan dan devosi menyala, sampai hati sungguh jatuh cinta. Di dalam keluarga kita dan seluruh jemaat Kristiani, seluruh gereja baik itu umat, biarawan-biarawati dan imam sama-sama dipanggil kepada kekudusan sebagaimana ditegaskan dalam LG bab 5 mengenai panggilan universal untuk kesucian. Seluruh umat beriman kristiani entah dalam status atau tingkatan manapun dipanggil untuk kekudusan hidup kristiani dan untuk kesempurnaan cintakasih (NMI 30). Bahkan ajakan itu telah dikumandangkan oleh Yesus Sang Junjungan ketika khotbah di bukit: “Hendaklah kamu sempurna seperti Bapamu di surga ialah sempurna” (Mat 5:48). Maka ungkapan merendahkan diri dalam pembicaraan harian, “Kula rak namung awam, bapak keluarga. menawi Rama utawi suster temtu langkung suci”, seyogiyanya kita ubah. Kita masing-masing diundang untuk menjadi kudus dan memaknai kekudusan kita melalui cara bertindak dan hidup harian apapun dan siapapun kita ini.
Mewujudkan kekudusan
Menunjukkan kualitas hidup kita sesuai dengan hakekat kemuridan serta panggilan ke arah kekudusan sudah saat-nya kita upayakan. Tim dari Bidang II Panitia ad Hoc Pesta Emas Paroki Sragen akan datang ke lingkungan untuk mengamati dinamika kehidupan lingkungan. Pengurus beserta seluruh umat diminta mempersiapkan hal-hal yang sudah dibuat dan kemudian akan diberi penilaian oleh tim. Inilah salah satu usaha kita meningkatkan kesungguhan dalam menggereja. Tidak takut untuk dinilai dan diukur, demi perkembangan kehidupan kita. Kita menerapkan kriteria penilaian yang bisa diukur juga oleh orang lain sebagai ukuran obyektif. Tanggapan dan keterbukaan dari pengurus lingkungan dan seluruh umat untuk selangkah lebih maju melalui tata administrasi yang lebih baik, serta keluarga-keluarga yang hidup dengan tata nilai kehidupan kekatolikan yang bisa diukur secara kuantitatif maupun kualitatif, adalah cita-cita kita semua. Hal yang baik seperti ini takkan pernah terenggut dari Gereja dan keluarga kita.
Keluarga menyiapkan benih panggilan
Salah satu yang layak menjadi rasa syukur dengan salah satu ukuran yang jelas, adalah tahbisan Rama Andreas Setyo Budi Sambodo Pr dari lingkungan Masaran. Lingkungan Masaran mempersembahkan putranya untuk Gereja, bisa diukur dari buah panggilan yang sudah dipanen maupun yang sedang ditanam. Dari keluarga trah Dawungan sudah ada dua orang yang ditahiskan. Buah pertama adalah Rm. F. Tejasuksmana MSF (baptisan awal untuk paroki Sragen), sedangkan buah kedua adalah Rama lulusan SMA Saverius Sragen ini. Tanaman untuk panggilan yang sudah di Seminari Menengah Mertoyudan adalah Yusup Widiarko, dan yang akan masuk KPA tahun ini adalah Yoseph Amarta. Dua seminaris yang sudah ada di Mertoyudan berasal dari Jenawi (Andi Widiawan) dan dari Sambirejo (Antonius Tri Ari Wibowo). Ini pula yang juga menjadi makna dari tahun syukur Yubileum Paroki Sragen. Kita syukuri anugerah panggilan ini, sambil mengetuk keluarga-keluarga dalam mempersiapkan benih panggilan untuk disemai di dalam keluarga, lingkungan dan di seminari.
Menanamkan Tradisi dalam Keluarga
Saya kutipkan apa yang menjadi keyakinan almarhum Paus Yohanes Paulus II bagi keutuhan keluarga dalam surat apostolik Rosarum Virginis Mariae artikel 41: “Keluarga yang berdoa bersama akan tetap utuh. Doa rosario suci, lewat tradisi yang sudah berabad-abad, telah menunjukkan diri sebagai doa yang sangat manjur untuk menghimpun keluarga. Setiap anggota keluarga, dengan mengarahkan tatapan matanya pada Yesus, akan memperoleh kemampuan untuk saling berkomunikasi, saling menunjukkan kesetiakawanan, saling mengampuni, dan bersama-sama menyaksikan janji kasih mereka dibaharui dalam Roh Allah …. Keluarga yang mendaras rosario bersama-sama akan menikmati suasana rumah tangga seperti suasana rumah tangga Nasareth: para anggotanya menempatkan Yesus di tengah keluarga, mereka berbagi suka dan duka, mereka menempatkan kebutuhan dan rencana-rencana di tangan Yesus, mereka menimba dari Dia harapan dan kekuatan untuk melanjutkan hidupnya”.
Mangayubagya Rm. Budi beserta 10 rekan imam lain yang telah ditahbiskan tanggal di kapel Seminari Tinggi St. Paulus, dan diharapkan menjadi berkat yang menyuburkan ladang Tuhan di Sragen di usia emasnya !***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar