Senin, 27 Oktober 2008

Keluarga Menjadi Sekolah Kehidupan

Kata sekolah berasal dari bahasa Latin schola, dan bahasa Yunani Skhole artinya tempat bersenang-senang. Maka kalau sekolah seke­dar menjadi tempat untuk transfer ilmu, bahkan di sekolah terjadi perkelahian serta kekerasan hingga mengakibat­kan kematian, ber­arti sangat jauh dari cita-cita dasar. Belum lagi kalau kita melihat anak-anak pergi ke sekolah sejak pagi hingga petang dengan mem­bawa buku dan tas yang sedemikian berat. Perlu ada usaha nyata untuk mengembang­kan kehidupan persekolahan kita sebagai tempat teduh nyaman untuk belajar hidup, sebagai tempat bersenang-senang dalam mengembangkan pengetahuan

 

Keaslian makna sekolah semoga tidak tercuri dari keluarga kita masing-masing. Bapak ibu sebagai orangtua ter­panggil untuk me­ngem­bangkan keluarga kita menjadi sekolah doa. Almarhum Sri Paus Yohanes Paulus II dalam surat Apostolik Novo Millenio Ineunte (33) menegaskan perlunya jemaat-jemaat Kristiani menjadi sekolah-sekolah doa sejati, tempat perjumpaan dengan Kristus diungkap­kan tidak melulu dalam mem­ohon bantuan, tetapi juga dalam memanjat­kan syukur, pujian, sembah sujud, kontem­plasi, sikap mendengarkan dan devosi menyala, sampai hati sungguh jatuh cinta. Di dalam keluarga kita dan seluruh jemaat Kristiani, seluruh gereja baik itu umat, bia­rawan-biarawati dan imam sama-sama dipanggil kepada kekudusan sebagaimana ditegaskan dalam LG bab 5 mengenai panggilan universal untuk kesucian. Selu­ruh umat beriman kristiani  entah dalam status atau  tingkatan manapun dipanggil untuk kekudusan hidup kristiani dan untuk kesem­purnaan cintakasih (NMI 30). Bahkan ajakan itu telah dikuman­dang­kan oleh Yesus Sang Junjungan ketika khotbah di bukit: “Hendaklah kamu sempurna seperti Bapamu di surga ialah sempurna” (Mat 5:48). Maka ungkapan merendahkan diri dalam pem­bicaraan harian, “Kula rak namung awam, bapak keluarga. menawi Rama utawi suster temtu langkung suci”, seyogiyanya kita ubah. Kita masing-masing diundang untuk men­jadi kudus dan me­maknai kekudusan kita melalui cara ber­tindak dan hidup harian apapun dan siapa­pun kita ini.

 

 Mewujudkan  kekudusan

 Menunjukkan kualitas hidup kita sesuai dengan hakekat kemuridan serta panggilan ke arah kekudusan sudah saat­-nya kita upayakan. Tim dari Bidang II Panitia ad Hoc Pesta Emas Paroki Sragen akan datang ke lingkungan untuk meng­amati dinamika kehidupan lingkungan. Pe­ngurus beserta seluruh umat diminta mem­persiapkan hal-hal yang sudah dibuat dan kemudian akan diberi penilaian oleh tim. Inilah salah satu usaha kita mening­kat­kan kesungguhan dalam meng­gereja. Tidak takut untuk dinilai dan diukur, demi per­kembang­an kehidupan kita. Kita mene­rapkan kriteria penilai­an yang bisa diukur juga oleh orang lain sebagai ukuran obyek­tif. Tang­gapan dan keterbukaan dari peng­urus ling­kungan dan seluruh umat untuk selangkah lebih maju melalui tata adminis­trasi yang lebih baik, serta keluar­ga-kelu­ar­ga yang hidup dengan tata nilai kehidup­an kekatolikan yang bisa diukur secara kuanti­tatif maupun kualitatif, adalah cita-cita kita semua. Hal yang baik seperti ini takkan pernah terenggut dari Gereja dan keluarga kita.

  

Keluarga menyiapkan benih panggilan

 Salah satu yang layak menjadi rasa syukur dengan salah satu ukuran yang jelas, adalah tahbisan Rama Andreas Setyo Budi Sambodo Pr dari lingkungan Masa­ran. Lingkung­an Masaran mempersembah­kan putranya untuk Gereja, bisa diukur dari buah panggilan yang su­dah dipanen mau­pun yang sedang ditanam. Dari keluar­ga trah Dawungan sudah ada dua orang yang ditahiskan. Buah per­tama adalah Rm. F. Tejasuksmana MSF (baptisan awal untuk paroki Sragen), sedangkan buah kedua adalah Rama lulus­an SMA Saverius Sragen ini. Tanam­an untuk panggilan yang sudah di Seminari Menengah Mertoyudan adalah Yusup Widiarko, dan yang akan masuk KPA tahun ini adalah Yoseph Amar­ta. Dua seminaris yang sudah ada di Mer­toyudan berasal dari Jenawi (Andi Widia­wan) dan dari Sambirejo (Antonius Tri Ari Wibo­wo). Ini pula yang juga menjadi makna dari tahun syukur Yubi­leum Paroki Sra­gen. Kita syukuri anuge­rah panggilan ini, sambil mengetuk kelu­ar­ga-keluarga dalam mem­persiapkan benih panggilan untuk disemai di dalam keluarga, lingkungan dan di semi­nari.

  

Menanamkan Tradisi dalam Keluarga

 Saya kutipkan apa yang menjadi keyakinan almarhum Paus Yohanes Paulus II bagi keutuhan keluarga dalam surat apostolik Rosarum Virginis Mariae artikel 41: “Keluarga yang berdoa ber­sa­ma akan tetap utuh. Doa rosario suci, lewat tradisi yang sudah berabad-abad, telah menunjuk­kan diri sebagai doa yang sangat manjur untuk menghimpun keluar­ga. Setiap anggota keluarga, dengan meng­­arahkan tatapan matanya pada Yesus, akan memperoleh kemampuan untuk saling berkomunikasi, saling menunjukkan kesetiakawanan, saling mengampuni, dan bersama-sama me­nyaksi­kan janji kasih mereka dibaharui dalam Roh Allah …. Keluarga yang men­daras rosario bersama-sama akan me­nik­mati suasana rumah tangga seperti suasana rumah tangga Nasareth: para anggotanya menempatkan Yesus di tengah keluarga, mereka berbagi suka dan duka, mereka menempatkan kebutuhan dan rencana-rencana di tangan Yesus, mereka menim­ba dari Dia harapan dan kekuatan untuk melanjutkan hidupnya”.

 Mangayubagya Rm. Budi beserta 10 rekan imam lain yang telah ditahbiskan tanggal di kapel Seminari Tinggi St. Paulus, dan diharapkan menjadi berkat yang menyuburkan ladang Tuhan di Sragen di usia emasnya !***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar