Minggu, 26 Oktober 2008
Paroki Dengan Modal Rp. 1000,-
Tanggal 2 September 1957 Paroki Sragen didirikan oleh Mgr. Alb. Soegijapranoto SJ selaku Vikaris Apostolik Semarang. Tokoh awal pendiri paroki kita adalah Rm. Justinus Darmojuwono Pr, Bp. FX. Wasiman, Bp. Florentinus Goetama dan Bp. Johanes Soegito Yang sekaligus menjadi Pengurus Gereja dan Papa Miskin Room Katolik (PGPM) paroki Santa perawan Maria di Fatima Di Sragen. Yang menarik sekaligus mengherankan, adalah kenyataan bahwa Paroki kita ini didirikan dengan modal uang tunai Rp. 1.000,00 saja. Semua data itu termuat dalam Turunan Akte Wakil Notaris R.M. Soeprapto No. 49 tanggal 15 November 1957; dan diperbaharui dengan Akta No. 54 tanggal 11 April 2001 oleh Notaris Angelique Tedjajuwana S.H.Untuk tahun 1957, seberapa besar makna uang seribu rupiah itu ? Kata orang, cukup bermakna juga. Uang Seribu rupiah bisa untuk membeli 8 gram emas, ada juga yang mengatakan bisa untuk membeli sebuah sepeda. Atau barangkali jumlah itu bermakna simbolis, sebagaimana ketika Santo Laurentius (Diakon dan Martir, diperingati setiap tanggal 10 Agustus) diminta oleh pejabat pemerintah Roma untuk menyerahkan harta kekayaan Gereja, ternyata yang diserahkan adalah ratusan orang fakir miskin yang ada di kota itu. Perlu kita ketahui bahwa Laurentius, sebagai Diakon bertugas mengurus bantuan bagi kaum fakir miskin.Paroki Sragen didirikan setelah ada tanda-tanda benih awal kekatolikan serta ada tanda-tanda akan berlangsungnya tradisi Kekatolikan di Sragen. Kita runut saja beberapa tonggak berikut: Didirikan Sekolah Kanisius di Jetak dengan guru yang mengajar berturut-turut yaitu Bp. R. Sumar-dji, Bp R. Soewandi dan akhirnya Bp Rp. Soewardi (Bp. PS. Dirosoemarto). Hasilnya ada dua pemuda asal Sragen yang dipermandikan di Paroki Purbayan tahun 1933. Sekitar tahun 1948 ada 30 orang Katolik di sekitar Sragen yang punya peran di pabrik Gula Mojo termasuk beberapa orang Belanda. Kemudian beberapa guru Katolik memprakarsai berdirinya SGB di Beloran (Bp. PS. Atmosudarmo, Bp. AS. Dirdjawijoto, Bp. Th. Sukisman dan Bp. ED. Widyosoesanto) sehingga tahun 1951 mulai ada siswa SGB yang ingin menjadi Katolik. Baru pada tahun 1953 ada 8 orang yang dipermandikan di Purbayan. Berturut-turut tahun 1954 dipermandikan 7 orang dan tahun 1955 ada 3 orang. Kemudian tanggal 26 September 1955 dengan Akta Notaris No. 30, didirikan Yayasan Saverius yang mengelola sekolah Katolik di Sragen (SMP Saverius) yang diprakarsai oleh tokoh-tokoh awam. Peran Rm. Justinus Darmojuwono Pr sebagai Pastor di Paroki Purbayan tentu sangat besar. Karena beliaulah yang turut membidani lahirnya Yayasan Saverius, kemudian mengusulkan pendirian Paroki Sragen dengan menghadap kepada Mgr. Alb. Soegijopranoto SJ selaku Vikaris Apostolik Semarang. Tahun 1961 berdirilah paroki Purbowardayan, Sragen sebagai stasi dari Purbowardayan. Rama Kiswono memberi makna dari keadaan stasi atau wilayah di Sragen dengan paruh waktu berada di Sragen di pastoran ‘bekas dalem” R.T. Brotowadono. Bagaimana kita menjadi bangga sebagai orang Katolik di sebuah paroki yang sudah berusia 47 tahun ? Bagaimana kita menghargai kegigihan tokoh-tokoh awal pendiri paroki kita dengan segala usaha dan jerih lelahnya ? Kita lihat strategi dan upaya yang diperlukan untuk membangun sebuah paroki. Bukan pertama-tama membangun gedung gereja, namun dengan kesaksian hidup dari tokoh awam (guru – pendidik) sehingga ada siswa yang ingin magang. Mereka merasul lewat jalur sekolah yaitu Yayasan Katolik Saverius. Bahkan dimungkinkan untuk menggunakan gedung sekolah untuk tempat ibadat. Baru kemudian tahun 1965 ada pastor yang menetap di Sragen (Rm. F. Kiswono Pr) dengan pastoran sederhana, dan setelah itu dirancanglah gedung gereja yang ramah lingkungan. Rama JB. Mangunwijaya Pr sebagai arsitek muda yang sedang sekolah di Jerman, mencoba membuat gambar gereja yang visioner, gereja yang berkonsep keibuan, dengan halaman luas untuk tempat bermain anak-anak dan siapapun yang ingin mendapatkan kesejukan dari Sang Bunda pelindung. Jadilah akhirnya, mulai tahun 1968 dibangun Gereja Joglo dengan galar bambu sebagai pyan penyejuk – penghias, dengan pohon-pohon yang dipertahankan.Itulah kegigihan dan ketokohan para peletak dasar paroki kita. Mereka telah menunjukkan kekokohan – kekuatan sebagaimana Daud dan menjadi bijaksana sebagaimana Salomo.Kalau gereja induk dibangun dengan konsep Jawa yang kental bersemangat keibuan serta ramah lingkungan, apakah Gereja Stasi atau lingkungan yang tersebar di paroki dan di kampung-kampung, juga ramah lingkungan ? Ataukah dibangun dengan model ‘angkuh’ megah sebagai Gedung Gereja yang barangkali justru asing untuk masyarakat sekitar ?Modal Rp. 1000, 00 pada tahun 1957 telah menghantar dan mewadahi umat sebanyak 8.000 orang pada tahun 2004 ini, yang tersebar di 42 lingkungan. Bagaimana kita akan menjadi bijak seperti Salomo dan kuat seperti Daud pada jaman Bajaj – Bajury ini? Semoga kita mendapatkan makna berharga dari ulangtahun ke 47 paroki kita. Jejak menuju 50 tahun – pesta emas paroki kita (tahun 2007), perlu kita torehkan. Semoga menjadi pijakan langkah untuk menjadi sebijak Salomo dan sekokoh Daud. Bersama Rama FX. Suhanto Pr (gembala paroki yang baru), kita langkahkan kaki untuk memaknai kekokohan pijakan dan keberpihakan kita bagi mereka yang masih berkutat untuk diri sendiri saja. Kita ingin mewujudkan Gereja dan Paroki yang dekat dengan siapapun juga dengan tetap memancarkan cerahnya Cahaya kasih Tuhan yang menembus aneka sekat dan kesempitan diri. Selamat Pesta dan Sejahtera untuk kita semua, dibawah perlindungan Santa Perawan Maria Di Fatima.***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar