Senin, 27 Oktober 2008

Menjadi Katolik Sebagai Keharusan Bagiku

- Menemukan terobosan Bagaimana KELUARGA memaknai nilai-nilai Kekatolikan -  Pelbagai kesempatan perjumpaan de­ngan umat, baik yang ‘sepuh’, dewasa maupun anak-anak memberi warna yang khusus. Dalam beberapa kali perjumpaan, hati saya diusik oleh pelbagai permasa­lahan yang dihadapi oleh umat. Pelbagai konsultasi di ruang tamu maupun dalam pembicaraan ringan dalam perjumpaan dengan teman muda, menunjukkan ‘sakit­nya’ beberapa keluarga kita. Sakitnya keluarga ini ditandai dengan minim­nya komunikasi yang terjadi di dalam keluarga, serta hangat­nya relasi suami istri juga de­ngan mertua yang jauh dari harapan. Per­soalan ekonomi tentu juga tak terelak­kan. Selalu ada kesadaran untuk mencari tero­bosan, bahkan mendapat kiat-kiat yang jitu untuk keluar dari pemasalahan yang ada. Pastoralia ini keluar dari per­menungan hati saya, sambil membaca pengalaman bebe­rapa orang atau keluarga yang dengan sungguh-sungguh mencari cara untuk menghangatkan keluarga dan menampak­kan kekatolikan yang nyata.  Cukup banyak keluarga-keluarga yang mengalami rahmat Tuhan dengan melim­pah, maupun juga cukupan, namun me­rasakan kebahagiaan karena suasana keluarga yang lengkap (ayah, ibu dengan anak-anak buah cinta di dalam keluarga). Saya bisa merasakan pelbagai upaya untuk mewujudkan indah­nya kerukunan, per­saudaraan dan hangat­nya kasih persaudara­an di dalam keluarga. Bahwa antara anak dan orang tua bisa saling ber­canda, nonton TV bareng dengan saling komentar, semacam bertaruh untuk kemenangan Liga Champion, karena sama-sama menyukai sepakbola. Bahkan ketika anak mau menghadapi UAN SMA dan yang kecil UAN SMP, seluruh ke­luarga berkumpul untuk berdoa, memberi dukungan dan peneguhan bagi anak-anak yang akan ujian. Keluarga yang mengalami kesulitan perekonomian karena ‘tidak cekel gawé, mencoba datang ke kerabatnya dan ingin mendapatkan bantuan dengan proposal yang diajukan kepada saudaranya. Ada jalan keluar yang coba dicari bersama, termasuk  dengan mencari kemungkinan sumbangan dari Tim PSE Paroki. Inipun salah satu bentuk kepedulian yang nyata. Ada keluarga yang rindu untuk men­dapatkan keturunan, dan sebagai suami istri sangat memahami kondisi masing-masing, bisa menerima keadaan tanpa saling menyalahkan. Ada kesepakatan untuk mengadopsi anak. Mereka ingin merajut kebahagiaan perkawinan melalui kehadiran anak yang ternyata harus dicari dengan pelbagai kesulitan dan bahkan harus mencari di panti asuhan. Pelbagai upaya ditempuh tanpa memperhitungkan rasa capek. Percaya bahwa Tuhan akan membantu. Kisah lain lagi, ketika sebagai suami istri harus hidup terpisah karena soal pekerjaan. Bahkan sekian waktu yang lalu anak-anak tidak bisa atau tidak mudah memahami, mengapa anak-anak harus di-kos-kan. Anak-anak merasa dijauhkan dari cinta kasih dan hangatnya kasih orangtua. Bahkan anak-anak sempat berontak karena ortu rasanya lebih mementingkan karier daripada kehangatan cinta pada anak-anak. Keluarga ini membutuhkan waktu cukup lama untuk bisa mendapatkan kata sepakat dan pemahaman di dalam keluarga, bahwa demi kesejahteraan keluarga, menuntut ortu harus terpisah dengan anak-anak. Cukup banyak “éyang” yang baru saja pensiun bahkan juga tidak punya pensiun, tidak bisa menikmati masa senja dengan lebih leluasa, karena ternyata dititipi cucu. Dengan pemahaman yang masih diper­juangkan sekian waktu, orangtua masih harus mendampingi cucu, mengantar dan menjemput ketika cucu sekolah, me­ngantar sekolah minggu, atau mengantar untuk les dan katekumenat.  Karena Aku Katolik Mengapa itu semua dibuat ? Saya menemukan jawabnya: “Karena kami Katolik”. Kekatolikan mengajarkan dan mengajak kita untuk mewariskan nilai-nilai kekatolikan sebagai hal yang diper­juangkan. Kami menyadari bahwa men­jadi Katolik tidak sekali jadi, namun merupakan proses untuk menjadi. Kami semua masih harus mencoba dan terus berjuang untuk menjadi cerdas dalam beriman, masih perlu terus belajar menge­nal dan memperdalam, bahkan memper­tanggungjawabkan iman kepercayaan. Saatnya untuk tidak lagi “MBOYAK” dengan iman kepercayaan dan kekatolikan kami. Perlu terus dicari terobosan untuk memperdalam kekatolikan. Sekarang saat­nya, bukan esok atau lusa, juga bukan saat­nya untuk dengan ringan mengatakan “Waduh lupa jé ”, atau malah “Itu kan bukan urusan kami”. Menjadi Katolik adalah suatu keharusan bagiku.*** Minggu Panggilan, 29 April 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar